Jumat, 27 April 2012

HUKUM PERJANJIAN


HUKUM PERJANJIAN
SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERJANJIAN
Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3.    Suatu hal tertentu
4.    Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. Dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannyaa sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan
Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1.    Orang-orang yang belum dewasa
2.    Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan
3.    Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu
Diperbedakan antara syarat subyektif dan syarat obyektif. Dalam halnya suatu syarat obyektif, maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi hukum”. Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian “null and void”.
Syarat subyektif maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetap salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta agar perjanjiannya itu digagalkan. Dengan demikian nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan “voidable” (bahasa Inggris) atau “vernietigbaal” (bahasa Belanda). Yang dapat meminta pembatalan adalah seorang anak yang belum dewasa, anak itu sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua/wali.
PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perjanjian tersebut tidak bebas, yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan. Pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan badan atau phisik. Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjnajian itu.
Pernipuan terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik (tipu-muslihat) untuk membujuk pihak lawannya memberikan perijinannya.
SAAT DAN LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut azas konsesualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu penyesuaian paham dan kehendak antara dua puhak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi cara bertimbal balik. Kedua belah pihak itu bertemu satu sama lain.
PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam yaitu:
1.    Perjanjian untuk memberikan atau memnyerahkan suatu barang
2.    Perjanjian utnuk berbuat sesuatu
3.    Perjanjian utnuk tidak berbuat sesuatu
Hal yang dilaksanakan itu dinamakan “prestasi”.
Perjanjian dari macam pertama adalah misalnya: jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai. Perjanjia dari macam kedua : perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat garansi, dan lainnya. Perjanjian dari macam ketiga adalah misalnya: perjanjian untuk tidak melakukan pembangunan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebagainya.
Maka dari itu juga apa yang dijanjikan itu dinamakan “prestasi primair”, sedangkan ganti-rugi dianmakan “prestasi subsidair”. Barang yang subsidair adalah barang yang menjadi ganti rugi suatu barang lain yang lebih berharga.
Pasal-pasal 1240 dan 1241 tergolong dalam macam kedua dan macam ketiga, yaitu perjanjian-perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan perjanjian-perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu (tidak melakukan sesuatu perbuatan).
Mengenai perjanjian dari macam yang pertama yaitu perjanjian untuk memberikan (menyerahkan) suatu barang, tidak terdapat suatu petunjuk dalam undang-undang.
Mengenai barang yang tak tertentu (artinya barang yang sudah disetujui atau dipilih), dapat dikatakan bahwa para ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat bawha eksekusi riil itu dapat dilakukan, misalnya jual-beli. Suatu barang bergerak yang tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu maka eksekusi riil tidak mungkin dilakukan.
Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut atau juga dengan kata lain : apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan demikian maka setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, yang terdapat pula dalam adat kebiasaan (di suatu tempat dan di suatu kalangan terntentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan (norma-norma kepatutan) harus diindahkan.
Lain halnya adalah dengan apa yang lazim dinamakan “standard-clausula”. Ini adalah yang oleh pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimaksudkan dengan “hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian. Meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap sebagai diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian sendiri, maka “hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap”.
Sebagai kesimpulan dari apa yang dibicarakan diatas dapat ditetapkan bahwa ada tiga sumber norma-norma yang ikut mengisi suatu perjanjian yaitu: undang-undang, kebiasaan dan kepatutan.
Pedoman-pedoman lain yang penting dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah:
a.    Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai penafsiran, maka harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu dari pada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf
b.    Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian yang menungkinkan janji itu dilaksanakan dari pada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan
c.    Jika kata-kata dapat diberikan du cara pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian
d.    Apa yang meragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di negeri atau di tempat dimana perjanjian itu telah diadakan
e.    Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya
f.      Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.

Tidak ada komentar: