HUKUM
PERJANJIAN
SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERJANJIAN
Untuk sahnya
perjanjian diperlukan empat syarat:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang
pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau
subyeknya yang mengadakan perjanjian. Dua syarat yang terakhir dinamakan syarat
obyektif karena mengenai perjanjiannyaa sendiri atau obyeknya dari perbuatan
hukum yang dilakukan
Dalam pasal 1330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1.
Orang-orang yang belum dewasa
2.
Mereka yang ditaruh di bawah
pengampunan
3.
Orang-orang perempuan dalam
hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada
siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu
Diperbedakan
antara syarat subyektif dan syarat obyektif. Dalam halnya suatu syarat
obyektif, maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal
demi hukum”. Artinya : dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan
tidak pernah ada suatu perikatan. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling
menuntut di muka hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang
demikian “null and void”.
Syarat subyektif
maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum,
tetap salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta agar perjanjiannya itu
digagalkan. Dengan demikian nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti
dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya. Perjanjian yang
demikian dinamakan “voidable” (bahasa Inggris) atau “vernietigbaal” (bahasa
Belanda). Yang dapat meminta pembatalan adalah seorang anak yang belum dewasa, anak
itu sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua/wali.
PEMBATALAN SUATU
PERJANJIAN
Persetujuan kedua
belah pihak yang merupakan sepakat harus diberikan secara bebas. Dalam hukum
perjanjian ada tiga sebab yang membuat perjanjian tersebut tidak bebas, yaitu
paksaan, kekhilafan dan penipuan. Pemaksaan adalah pemaksaan rohani atau jiwa
(psikis), jadi bukan paksaan badan atau phisik. Misalnya salah satu pihak
karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
Kekhilafan atau
kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari
apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang
menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan
perjnajian itu.
Pernipuan terjadi
apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu
atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik (tipu-muslihat) untuk
membujuk pihak lawannya memberikan perijinannya.
SAAT DAN LAHIRNYA
PERJANJIAN
Menurut azas
konsesualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau
persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang
menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu penyesuaian paham dan kehendak
antara dua puhak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah
juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi
cara bertimbal balik. Kedua belah pihak itu bertemu satu sama lain.
PELAKSANAAN SUATU
PERJANJIAN
Suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana
dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik
macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan perjanjian-perjanjian
dibagi dalam tiga macam yaitu:
1.
Perjanjian untuk memberikan atau
memnyerahkan suatu barang
2.
Perjanjian utnuk berbuat sesuatu
3.
Perjanjian utnuk tidak berbuat
sesuatu
Hal
yang dilaksanakan itu dinamakan “prestasi”.
Perjanjian dari
macam pertama adalah misalnya: jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau
pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai. Perjanjia dari macam kedua : perjanjian
untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membuat
garansi, dan lainnya. Perjanjian dari macam ketiga adalah misalnya: perjanjian
untuk tidak melakukan pembangunan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan
suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebagainya.
Maka dari itu
juga apa yang dijanjikan itu dinamakan “prestasi primair”, sedangkan ganti-rugi
dianmakan “prestasi subsidair”. Barang yang subsidair adalah barang yang
menjadi ganti rugi suatu barang lain yang lebih berharga.
Pasal-pasal 1240
dan 1241 tergolong dalam macam kedua dan macam ketiga, yaitu
perjanjian-perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan
perjanjian-perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu (tidak melakukan sesuatu
perbuatan).
Mengenai
perjanjian dari macam yang pertama yaitu perjanjian untuk memberikan
(menyerahkan) suatu barang, tidak terdapat suatu petunjuk dalam undang-undang.
Mengenai barang
yang tak tertentu (artinya barang yang sudah disetujui atau dipilih), dapat
dikatakan bahwa para ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat bawha eksekusi
riil itu dapat dilakukan, misalnya jual-beli. Suatu barang bergerak yang
tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu maka eksekusi riil tidak
mungkin dilakukan.
Untuk
melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan
cermat apa saja isi perjanjian tersebut atau juga dengan kata lain : apa saja
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan demikian maka setiap perjanjian
diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, yang
terdapat pula dalam adat kebiasaan (di suatu tempat dan di suatu kalangan
terntentu), sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan
(norma-norma kepatutan) harus diindahkan.
Lain halnya
adalah dengan apa yang lazim dinamakan “standard-clausula”. Ini adalah yang
oleh pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimaksudkan dengan “hal-hal
yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dianggap secara diam-diam
dimasukkan dalam perjanjian. Meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh
karena dianggap sebagai diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian
sendiri, maka “hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dapat menyingkirkan
suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap”.
Sebagai
kesimpulan dari apa yang dibicarakan diatas dapat ditetapkan bahwa ada tiga
sumber norma-norma yang ikut mengisi suatu perjanjian yaitu: undang-undang,
kebiasaan dan kepatutan.
Pedoman-pedoman
lain yang penting dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah:
a.
Jika kata-kata suatu perjanjian
dapat diberikan berbagai penafsiran, maka harus dipilihnya menyelidiki maksud
kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu dari pada memegang teguh arti
kata-kata menurut huruf
b.
Jika suatu janji dapat diberikan
dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian yang
menungkinkan janji itu dilaksanakan dari pada memberikan pengertian yang tidak
memungkinkan suatu pelaksanaan
c.
Jika kata-kata dapat diberikan du
cara pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat
perjanjian
d.
Apa yang meragukan harus
ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di negeri atau di tempat dimana
perjanjian itu telah diadakan
e.
Semua janji harus diartikan dalam
hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian
seluruhnya
f.
Jika ada keragu-raguan, maka suatu
perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta
diperjanjikannya sesuatu hal dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan
dirinya untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar